Langgur, Sahabatrakyat.id – Nama Perpetua J. Safanpo lekat di benak warga Asmat, Papua Selatan. Namanya diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). Namun, tidak banyak yang tahu sosok Perpetua J. Safanpo yang adalah perawat pertama Asmat dan juga dikenal sebagai orator ulung dan memperjuangkan kesetaraan kaumnya.
Lantas siapa sosok Perpetua J. Safanpo? Berikut ulasannya.
Perpetua J. Safanpo lahir di Kampung Beriten, 15 November 1952 dari pasangan Thomas Safanpo dan Olivia Kombites. Kedua orang tua memberi nama kecilnya Jimomber. Setelah tumbuh besar, oleh kalangan sahabat dan masyarakat Asmat ia dikenal dengan sebutan Perry atau suster Perry.
Kala itu, mayoritas generasi pelajar pertama Asmat memilih sekolah Guru di SPG Merauke dan Jayapura, tetapi tidak bagi Perry. Ia memilih sekolah perawat di Merauke dan pada 1972 akhir, Perry menyelesaikan study dan kembali ke Asmat.
Ia pun merintis karir sebagai perawat dengan melayani warga di Distrik Sawa Erma. Tahun 1975, Ia kembali ke Agats. Kemudian tahun 1977, Suster Perry kembali ditugaskan atas permintaan pihak Keuskupan Agats untuk bekerja di RS St. Odilia Bayun bersama beberapa Suster Tarekat Maria Mediatrix (TMM).
“Mama sempat bertemu dan bekerja bersama dr. Soedanto atau yang lebih dikenal dokter 1000 oleh masyarakat Jayapura. Waktu itu dokter Soedanto melaksanakan TDT di Bayun,” cerita Thomas.
Pada 1978, Suster Perry ditugasksn untuk melayani sebuah klinik kesehatan milik Keuskupan di Paroki Basim yang dikelola oleh Pastor Anton Van Derwaw, MSC. Bertugas disana hingga 1979. Selanjutnya pada 1980, Suster Perry ditarik lagi ke Merauke karena diangkat sebagai pegawai negeri. Ia pun ditugaskan di RSUD Merauke hingga akhir 1981.
“Sewaktu mama menerima SK-PNS, mama ditugaskan kembali ke Agats. Dan kami harus kembali ke Asmat dengan menaiki kapal perang milik TNI AL dengan tujuan Atsj. Kami terkatung katung selama 5 hari karena tidak ada hubungan ke Agats,” cerita Thomas dengan sedih.
Beruntung, lanjut Thomas, keluarga dari Kampung Amanamkai mendengar keberadaan kami di Atsj lalu datang membawa dua perahu, serta dayung, tombak, panah dan memberikan itu kepada tete Safanpo. Dengan bantuan itulah, kami berhasil pulang dengan mendayung perahu ke Agats.
Hari hari pelayanan, dan pengabdian sebagai perawat di Agats terus dijalani hingga medium tahun 1984. Sang Khalik berkehendak lain. Pada 23 Agustus 1984, Suster Perry, perawat pertama kebanggaan Asmat ini pergi untuk selamannya.
-Suster Perry Pejuang Keadilan-
Mengenal Suster Perry tidak hanya sebagai perawat yang melayani masyarakat dari satu Kampung ke kampung yang lain. Ternyata Suster Perry punya cerita sebagai seorang perempuan pemberani. Oleh rekan kerja, sahabat maupun keluarga yang menjadi saksi hidup menyebutnya sebagai pejuang keadilan. Betapa tidak, perawat ini pernah memegang peran penting dalam sejarah perjuangan untuk membebaskan sejumlah warga yang terkena hukuman akibat menolak bekerja di sebuah perusahan HPH yang memberlakukan kebijakan upah yang terlalu rendah.
Kepala Pemerintahan Setempat (KPS) tahun itu bersama aparatnya memberikan hukuman dengan memukul, menyiksa hingga mengikat leher sejumlah pemuda yang dianggap membangkang itu pada rakit kayu, lalu dihanyutkan begitu saja. Melihat saudara saudaranya diperlakukan tidak manusiawi, Perpetua kemudian mengorganisir demonstarasi dan menyampaikan aksi protes untuk melawan tindakan keji pemerintah setempat dan kebijakan perusahan HPH.
Bahkan ketika mendengar kunjunga Bupati Merauke di distrik Atsj, Suster Perry bersama sejumlah orang tua menghadap dan memberikan pernyataan penolakan terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pihak KPS. Dengan tegas mereka meminta agar orang orang tersebut dipindahkan. Perjuangan Suster Perry tidak sampai disitu, ia selanjutnya mendaftarkan gugatan ke pengadilan Merauke atas perlakukan perusahaan HPH terkait kebijakan upah rendah pekerja lokal Asmat.
“Puji Tuhan, Mama Perry memenangkan gugatan karena kebijakan upah rendah itu dianggap tidak layak dan tidak manusiawi kepada pekerja lokal di wilayah Asmat oleh pengadilan,” jelas Wakil Bupati Asmat ini.
– Pemberian Nama RSUD Perpetua J. Safanpo –
Sudah barang tentu, pemberian nama tersebut bukan tanpa alasan, tentu mempunyai alasan historis dimana Bupati Elisa merasa tergugah dengan perjuangan seorang Perempuan asli Asmat di masa-masa sulit dulu, yang berhasil menjadi perawat pertama dari kalangan orang Asmat dalam tugas kemanusiaan.
Perpetua dinilai, tidak hanya sebagai semangat perintis yang memberikan kontribusi penting terhadap dunia kesehatan, juga melalui perannya sebagai pejuang kamanusiaan di tanah lumpur, Asmat.
Demikian pemberian nama RSUD Perpetua J. Safanpo karena kegigihan seorang perempuan dari Asmat yang perlu diteladani oleh generasi muda Asmat masa kini dan mendatang.
“Supaya kita memberi spirit kepada generasi muda bahwa di saat susah seperti itu masih ada perempuan Asmat yang muncul untuk mengerjakan pekerjaan kemanusiaan,” terang Bupati Asmat saat menjelaskan alasan nama Perpetua J. Safanpo yang diabadikan sebagai nama RSUD Asmat.
Penuli : Petter Says