Agats — Di tengah kemeriahan Festival Berter yang digelar oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Asmat, sebuah drama panggung mencuat seperti sembilu dalam balutan tawa. Dibawakan oleh Sanggar Seni Worim Pop Simit (WPS) dari Yasiuw, Distrik Atsjy, drama ini bukan sekadar hiburan, ia adalah jeritan nurani yang disampaikan dalam bahasa rakyat, jenaka tapi menggetarkan.
Di atas panggung beton Yos Sudarso, para pemuda tampil dalam rupa yang kontras: satu berpakaian rapi, mengenakan kemeja ibadah, berjalan tergesa menuju gereja; lainnya, bertelanjang dada, celana melorot nyaris jatuh, botol miras di tangan, suara tawa mereka riuh, namun kosong.
Mereka bukan sekadar tokoh. Mereka adalah cermin. Cermin dari kenyataan yang terlalu akrab di tanah ini.
“Gereja hanya bikin keringat,” kata salah satu tokoh dengan nada menggoda. “Lebih baik mabuk saja, atau cari makan ke Dusun.”
Tak hanya menghasut temannya untuk membatalkan niat ibadah, mereka juga menyuruh anak dan istri tetap tinggal — menjauh dari gereja, dari doa, dari Tuhan. Yang suci diganti dengan suara botol bersinggungan, yang sakral dipermainkan oleh lidah yang telah dikuasai alkohol.
Adegan bergulir dalam irama lucu, sesekali diselingi dialog dalam bahasa Indonesia lokal yang mengundang tawa, namun tawa itu getir. Penonton tergelak, tapi di hati mereka, mungkin ada sebongkah luka yang terus diaduk-aduk oleh kenyataan.
Karena memang, ini bukan sekadar fiksi.
Ini kenyataan yang dipentaskan.
Ini kehidupan sehari-hari yang diangkat dari tanah, dari lorong-lorong kampung, dari hari Minggu yang sepi gereja tapi ramai aroma tuak.
Drama ini menggugat — bukan dengan amarah, tapi dengan sindiran yang halus dan menyakitkan. Ia mengisahkan betapa miras bukan hanya merusak tubuh, tetapi membunuh perlahan semangat rohani. Iman anak muda menjadi kabur, semangat pelayanan memudar, dan gereja tak lagi menjadi rumah yang dituju, tapi hanya bangunan yang dilewati.
Penampilan para aktor semakin memperkuat pesan: ada yang berbusana seperti pastor, ada yang mengenakan pakaian ibadah dengan khidmat, ada pula yang berpenampilan compang-camping seperti pemabuk jalanan. Semua menjalin ironi yang lekat: yang seharusnya menuju altar malah menepi di warung tuak.
Tepuk tangan riuh pun menggema di akhir pertunjukan. Tapi belum reda tepuk tangan itu, kenyataan kembali menampar keras. Hanya beberapa jam berselang, bentrok pecah di antara kelompok warga — dan penyebabnya, lagi-lagi, adalah miras.
Seakan drama itu belum cukup bicara, realitas langsung memberi babak lanjutannya. Polisi dan tentara turun tangan, berjaga-jaga, memisahkan kemarahan yang membara akibat satu teguk terlalu banyak.
Festival Berter, yang menjadi panggung budaya dan harapan, justru mengukir babak pahit: bahwa seni bisa menggugat, namun perubahan tak datang hanya dari pentas, ia menuntut pertobatan nyata.
Drama dari WPS adalah sajak luka yang menyamar jadi tawa. Ia menghibur, tapi juga menampar. Dan barangkali, di antara tepuk tangan dan kericuhan yang menyusul, Tuhan sendiri ikut bersedih. Karena pada hari-Nya, pemuda lebih memilih botol daripada Alkitab.
Seni telah bersuara.
Apakah hati kita mendengarnya?